Yes, I am. Metaphorically! Maksudnya bukan properti dalam artian sebenernya. Saya yang dari mulai berojol ampe sekarang berumur 21 tahun lebih 214 hari masih bergantung sama orang tua ini harus mengakui kalo saya adalah properti mereka. Misalkan, disuruh ke warung, beresin rumah, cuci piring, bersihin poop kucing, sekolah, dan semua yang ngga mungkin bisa kita lakuin buat orang lain. Sebatas itu aja. Ada banyak hal lain dimana orang tua saya tidak menjadikan saya sebagai properti mereka yaitu dalam menentukan selera, seperti hobby, makanan favorit, gaya berpakaian, terlebih... pacar :) . Mereka ngga pernah ikut campur sama pilihan saya, apalagi maksain kehendak mereka buat ngedapetin apa yang mereka mau lewat saya. Karena orang tua yang berhasil itu adalah orang tua yang percaya kalo pilihan anaknya adalah pilihan yang terbaik. Kalo mereka yakin udah ngedidik anak-anaknya dengan benar, ngga mungkin dong anaknya sampe salah pilih?
Tapi ada juga sebagian orang yang emang tercipta di bumi ini buat jadi properti keluarganya. (Properti dalam artian sebenarnya). Seperti fiksi Siti Nurbaya, yang pada kenyataannya terjadi di belahan bumi mana aja. Orang tua sering kali ”menjual” anaknya buat ngedapetin obsesi mereka seperti: harta, atau tahta. Kayak beli mas 24 karat yang mereka simpen dan bisa dijual kapan aja saat mereka butuh duit. Entah seperti apa harus menterjemahkan ini, tapi waktu ayah saya sekarat, seorang cowok berkata: ”mungkin saya bisa meneruskan pekerjaan ayah kamu, saya akan berjuang buat terus sama kamu dan ngasih pengertian sama keluarga saya, dan saya akan menikahi kamu”. Saya mengangguk setuju. Tapi lama kelamaan, saya mulai berpikir dengan waras. Saya yang sedari kecil udah merasa dididik dengan benar ini ngga mungkin punya pendamping yang ikutan bergantung sama orang tua saya. What a shame! Yang saya mau, semakin saya dewasa semakin saya bisa memberikan banyak hal untuk orang tua saya sebagai balasan apa yang udah mereka kasih buat saya, bukan malah makin bergantung. Tapi nampaknya cowok itu ngga setuju, lalu memilih perempuan yang lebih bisa menjaminnya dan mengangkat harkat martabat keluarganya, dan tentu aja cewek itu pilihan keluarganya.
Yeah, you are your family property. And if you mean it as a real word, not a metaphor, you are WORTHLESS.
Tapi ada juga sebagian orang yang emang tercipta di bumi ini buat jadi properti keluarganya. (Properti dalam artian sebenarnya). Seperti fiksi Siti Nurbaya, yang pada kenyataannya terjadi di belahan bumi mana aja. Orang tua sering kali ”menjual” anaknya buat ngedapetin obsesi mereka seperti: harta, atau tahta. Kayak beli mas 24 karat yang mereka simpen dan bisa dijual kapan aja saat mereka butuh duit. Entah seperti apa harus menterjemahkan ini, tapi waktu ayah saya sekarat, seorang cowok berkata: ”mungkin saya bisa meneruskan pekerjaan ayah kamu, saya akan berjuang buat terus sama kamu dan ngasih pengertian sama keluarga saya, dan saya akan menikahi kamu”. Saya mengangguk setuju. Tapi lama kelamaan, saya mulai berpikir dengan waras. Saya yang sedari kecil udah merasa dididik dengan benar ini ngga mungkin punya pendamping yang ikutan bergantung sama orang tua saya. What a shame! Yang saya mau, semakin saya dewasa semakin saya bisa memberikan banyak hal untuk orang tua saya sebagai balasan apa yang udah mereka kasih buat saya, bukan malah makin bergantung. Tapi nampaknya cowok itu ngga setuju, lalu memilih perempuan yang lebih bisa menjaminnya dan mengangkat harkat martabat keluarganya, dan tentu aja cewek itu pilihan keluarganya.
Yeah, you are your family property. And if you mean it as a real word, not a metaphor, you are WORTHLESS.